Beranda | Artikel
Jalan Menuju Surga
Rabu, 26 Juni 2019

Bismillah.

Seorang insan yang mendambakan kebahagiaan hidup tentu meyakini keberadaan surga dan neraka. Surga sebagai tempat tinggal orang-orang bahagia, dan neraka tempat tinggal kaum yang celaka. Semoga Allah masukkan kita ke surga dan jauhkan kita dari api neraka.

Mengimani keberadaan surga adalah bagian dari iman kepada hari akhir. Hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh manusia karena mereka akan berjumpa dengan Rabbnya. Sebagian manusia ada yang berbahagia, dan sebagian lagi celaka. Yang berbahagia akan menetap di dalam surga dengan segala kenikmatan yang ada di dalamnya. Dan yang celaka akan menetap di neraka dengan segala siksaan dan hukuman pedih yang ada di sana.

Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)

Allah juga berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2)

Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (al-’Ashr : 1-3)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu (agama) maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Allah menyediakan surga untuk hamba-hamba-Nya yang bertakwa. Mereka yang mau tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Mereka yang melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Thalq bin Habib rahimahullah berkata, “Takwa adalah kamu melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah dengan mengharapkan pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan kemaksiatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah dengan merasa takut akan hukuman Allah.”

Dalam rangka mewujudkan ketakwaan itulah Allah memerintahkan manusia untuk mencari ilmu agama. Karena ilmu adalah jalan menuju takwa. Sebagian ulama salaf berkata, “Sesungguhnya ilmu itu lebih diutamakan di atas amal-amal yang lain karena dengannya orang bisa bertakwa kepada Allah.” Dari situlah kita bisa memahami maksud Imam Bukhari rahimahullah ketika menulis bab di dalam Shahihnya dengan judul ‘Bab Ilmu sebelum perkataan dan amalan’.

Artinya, tidak akan bisa seorang muslim bertakwa kepada Allah dengan ucapan dan perbuatannya kecuali jika dilandasi dengan ilmu agama. Sedangkan ketakwaan kepada Allah itu wajib dilakukan kapan pun dan dimana pun. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada…” (HR. Tirmidzi, hadits hasan)

Oleh sebab itu Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Manusia membutuhkan ilmu lebih banyak daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari sekali atau dua kali. Adapun ilmu, dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.”  

Ilmu bagi hati laksana air hujan bagi bumi. Dengan ilmu itulah seorang hamba akan mengingat Rabbnya dan mencintai-Nya jauh melebihi kecintaannya kepada segala sesuatu. Sebab Allah semata yang memberikan rezeki kepadanya, Allah pula yang menciptakan alam semesta; yang tidak ada satu pun nikmat melainkan itu adalah pemberian dari-Nya kepada kita. Sebagaimana dikatakan dalam sebagian riwayat, “Hati-hati manusia telah tercipta dalam keadaan mencintai siapa yang berbuat kepadanya.” Maka tidak ada yang lebih pantas untuk menjadi tujuan puncak kecintaan hamba selain Rabbnya. Sehingga kebutuhan hamba untuk beribadah kepada Allah jauh melebihi kebutuhannya kepada segala sesuatu yang ada di dunia ini. Tanpa ibadah dan kecintaan kepada Allah maka hidupnya akan menjadi hampa, tidak ada kelezatan padanya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pasti akan merasakan lezatnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Ada tiga perkara, barangsiapa yang memiliki ketiganya niscaya dia akan merasakan manisnya iman.” salah satunya, “Allah dan Rasul-Nya menjadi lebih dicintainya daripada selain keduanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Orang yang cinta kepada Allah tentu akan terus mengingat-Nya. Tidaklah seorang insan mencintai sesuatu melainkan dia pasti akan sering menyebut namanya. Oleh sebab itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat perumpamaan orang yang mengingat Allah sebagai orang yang hidup, sedangkan mereka yang tidak ingat kepada-Nya sebagai orang yang mati. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya seperti perumpamaan orang hidup dengan orang mati.” (HR. Bukhari)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dzikir bagi hati seperti air bagi ikan. Maka apakah yang akan terjadi pada ikan apabila ia memisahkan diri dari air?” Lezatnya penghambaan kepada Allah tidak akan diraih kecuali oleh mereka yang mengingat Allah dan mengenal Allah dengan sebenar-benar ma’rifah. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang beriman itu hanyalah orang-orang yang apabila disebut nama Allah maka takutlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah imannya, dan kepada Rabb mereka saja mereka itu bertawakal.” (al–Anfal : 2)

Hati yang mengenal Allah akan terus bergantung dan bersandar kepada-Nya. Karena Allah semata Rabb yang menguasai langit dan bumi. Sementara apa pun yang disembah manusia selain Allah tidak menguasai apa-apa walaupun hanya setipis kulit ari. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian; Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 21)

Hati yang mengenal Allah akan mencintai Allah dan meninggalkan segala sesembahan selain-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan diantara manusia ada orang menjadikan selain Allah sebagai tandingan sesembahan; mereka mencintainya sebagaimana cinta kepada Allah, sedangkan orang-orang yang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.” (al-Baqarah : 165)

Mengenal Allah, mencintai-Nya dan tentram dalam dzikir serta ketaatan kepada Allah merupakan surga dunia dan kenikmatan luar biasa yang akan diperoleh kaum beriman di dunia sebelum surga di akhirat kelak. Sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya di dunia ini ada surga, barangsiapa tidak memasukinya maka dia tidak akan masuk surga di akhirat.” Malik bin Dinar rahimahullah mengatakan bahwa orang-orang yang malang dari penduduk dunia ini adalah mereka yang meninggal dunia dalam keadaan belum merasakan sesuatu yang paling baik di dalamnya; yaitu mengenal Allah dan mencintai-Nya serta tentram dengan ketaatan kepada-Nya. 

Orang yang mencintai Allah tentu akan berusaha mendekatkan diri kepada-Nya dengan amal salih dan ketaatan. Dia pergunakan nikmat-nikmat Allah untuk mendatangkan cinta-Nya. Dia akan mensyukuri nikmat itu dengan tidak memanfaatkannya dalam perkara yang membuat Allah murka. Dia akan selalu merasa diawasi oleh Allah. Dia akan melakukan apa-apa yang Allah cintai berupa ucapan dan perbuatan; yang tampak maupun tersembunyi. Dia akan beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan dan sesuai dengan tuntunan. Karena cinta kepada Allah menuntut dirinya untuk tunduk dan patuh kepada-Nya. Sebagaimana diungkapkan oleh orang arab innal muhibba liman yuhibbu muthii’u; sesungguhnya orang yang mencintai akan menaati siapa yang dia cintai.

Cinta kepada Allah merupakah ruh dan penggerak seluruh amalan. Cinta kepada Allah dibuktikan dengan kesetiaan kepada perintah-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Jika kalian mengaku mencintai Allah, maka ikutilah aku (rasul) niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali ‘Imran : 31)

Menaati rasul merupakan konsekuensi ketaatan kepada Allah. Durhaka kepada Rasul berarti durhaka kepada Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan barangsiapa yang menaati rasul itu sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (an-Nisaa’ : 80). Karena tidaklah Rasul berbicara kecuali berlandaskan wahyu dari Rabbnya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah dia berbicara dari hawa nafsunya, tidaklah itu melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (an-Najm : 3-4)

Orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya tentu akan mengembalikan segala perselisihan kepada keduanya. Karena Allah adalah al-Hakim; yang mahabijaksana, tidaklah Allah menciptakan sesuatu sia-sia, tidaklah Allah menetapkan suatu hukum dan aturan kecuali dengan landasan ilmu dan hikmah. Allah sama sekali tidak menganiaya hamba. Allah pun tidak menjadikan dalam agama ini suatu kesempitan. Allah berfirman (yang artinya), “Demi Rabbmu, sekali-kali mereka tidak beriman sampai mereka menjadikanmu -rasul- sebagai hakim/pemutus perkara dalam apa-apa yang diperselisihkan diantara mereka, kemudian mereka tidak mendapati sedikit pun rasa sempit atas apa yang telah kamu putuskan, dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (an-Nisaa’ : 65)

Sehingga kita akan bisa mengerti bahwa keimanan ini bukan semata-mata slogan kosong dan angan-angan. Iman itu butuh akan pembuktian, sebagaimana ia harus dibangun di atas kokohnya keyakinan di dalam sanubari. Iman itu ucapan dan amalan, sebagaimana telah menjadi ketetapan dalam manhaj Ahlus Sunnah. Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu hanya dengan angan-angan atau menghiasi penampilan. Akan tetapi iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan-amalan.”

Allah berfirman (yang artinya), “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan mengatakan ‘Kami telah beriman’ sementara mereka tidak diuji? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, supaya Allah benar-benar mengetahui siapakah orang-orang yang jujur dan benar-benar mengetahui siapakah orang-orang yang dusta.” (al-’Anlabut : 2-3)

Seorang penyair arab mengatakan :

Setiap orang mengaku punya hubungan dengan Laila

Sedangkan Laila tidak setuju dengan mereka

Karena itulah Allah menjadikan cobaan di alam dunia ini dengan berbagai hal yang tidak disenangi oleh hawa nafsu untuk menguji manusia sejauh mana ketundukan mereka kepada Rabbnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Neraka diliputi hal-hal yang disukai syahwat/hawa nafsu, sedangkan surga diliputi hal-hal yang tidak disukai.” (HR. Bukhari no 6487)

Dan orang yang akan diberi petunjuk menuju surga adalah mereka yang mau berjuang menundukkan hawa nafsunya dalam ketaatan kepada Rabbnya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh mencari keridhaan Kami maka benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (al-’Ankabut : 69)

Syaikh al-Albani rahimahullah menyebutkan hadits yang cukup menakjubkan. Dari Fadhalah bin Ubaid radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang orang mukmin yang sejati? Yaitu orang Islam yang bisa membuat orang lain aman dari gangguannya dalam hal harta dan nyawanya. Orang muslim sejati adalah yang bisa membuat orang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Orang yang benar-benar berjihad adalah yang berjuang keras menundukkan dirinya dalam ketaatan kepada Allah. Dan orang yang berhijrah itu adalah yang meninggalkan kesalahan dan dosa-dosa.” (HR. Ahmad dan yang lainnya, dinyatakan sahih oleh al-Albani) (lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, 2/89)


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/jalan-menuju-surga-2/